Recent Posts

Jumat, 27 April 2012

Photo Session w/ Glofaria



I love the simplicity of Glofaria. Hahaha, emang bener ternyata sungkan bondo (indonesia: gak mau mengeluarkan uang banyak) sama hemat beda tipis. Glofaria selalu bisa berusaha meminimalisir pengeluaran dalam berbagai macam kegiatan. Salah satunya waktu photo session. Ini beberapa foto yang ga masuk buku tahunan sekolahku. Semuanya serba dilakukan sendiri, balik lagi kayak tadi untuk meminimalisir pengeluaran. Wkwk. No fotografer, No Make up man, and No fashion stylist, and Our self editor. Setidaknya kita puas untuk hasil kita sendiri. 






Right: Waceh, Awe, Linggar

Right: Ajeng, Rifky, Ep (me)
Right: Lisa, Boyi, Mik


Right: Dinces, Re, Dinsar



Berikut ini beberapa favorite pictures. Haha they are freak ! foolish act -_-




Actually in this blog, I haven't told what glofaria is. For your information ---> Glofaria is My SHS Class Nick Name. 

Senin, 23 April 2012

You and I

Every bitter-sweet of activity we had done together will always has a nice ending. Yes, they live in my cerebrum. Actually I have said to all kind of brain disease not to infect me, because now, the precious thing of you and I, i have, is a memory only.
Sering kali aku berdecak kagum kepada Allah yang mampu membuatku terus-terusan mengingat saat dimana aku dan mereka berpelukan dan merasakan sesenggukan mereka yang terdeteksi saraf-saraf sensori tubuhku.
It's nice, how Allah perfectly makes a thing happened in a right condition
Aku juga selalu berdecak kagum kepada Allah yang dengan kuasanya mampu mempertemukan aku dengan jiwa-jiwa seperti mereka. Jiwa-jiwa yang berbeda, tapi menjadi suatu yang saling melengkapi bila bersama.
No, It's not a good bye, cause we believe for tomorrow. -Bondan Prakoso & Fade 2 Black-
Yak tepat. Aku menangis pada 'Farewell Party' bukan karena menganggap itu sebuah pengakhiran untuk suatu pertemuan yang pernah terjadi hampir dua tahun ini.  Tapi menangis karena tidak bisa melihat wajah-wajah mereka sesering biasanya.  Menangis karena selama dua tahun ini, aku tidak bisa menjadi jiwa yang baik dalam melengkapi mereka. Tapi saat ini aku tidak sedang bersedih karena aku tahu masih ada hari setelah hari ini untuk aku dan mereka bertemu dalam keadaan jiwa yang lebih baik dari waktu itu, karena aku juga tahu : Glofaria's never end, dan karena
It's not the end. It's just the beginning. -Bondan Prakoso & Fade 2 Black-
 Love Glofaria always. *kiss *hug




This Is A Story ? Yes, It's A True Story (My Father's Biography)



Abdul Rahman lahir pada tanggal 30 Agustus 1964 di sebuah kota ujung timur pulau Jawa, Banyuwangi. Tepatnya, Wongsorejo sebuah kecamatan di Banyuwangi bagian utara yang terkenal dengan penduduk yang masih kedaerahan dan hampir semua penduduknya berdarah Madura. Abdul Rahman termasuk salah satunya. Beliau dilahirkan di keluarga yang sangat sederhana sebagai anak ketiga. Ayah beliau Sahri, adalah seorang petani dan ibu beliau Misriyah sebagai ibu rumah tangga yang terkadang membantu suaminya di tegalan (tanah pertanian yang biasanya ditanami dengan jagung, singkong dan kacang hijau dengan tanah yang tidak cukup subur). Sayang masa-masa Abdul Rahman dengan ayahnya hanya berlangsung beberapa tahun saja, karena pada saat beliau menginjak bangku sekolah dasar di tahun-tahun pertama, ayahnya meninggal. Sifat anak-anak desa yang bersemangat tinggi dan tidak mau lama-lama berkubang dengan kesedihan, sangatlah melekat dengan Abdul Rahman. Setelah kepergian ayahnya, Dul panggilan akrab Abdul Rahman semakin rajin membantu ibunya. Bergantian dengan kakaknya mencari rumput untuk makanan kambing, sapi, dan kuda yang biasa dia lakukan sepulang sekolah. Layaknya anak kecil pada umumnya, Dul sering menghabiskan waktunya untuk bermain bersama teman-temannya. Mulai dari gobak sodor, engklek, sampai kelereng. 
Dul bersekolah di Sekolah Dasar Negeri Wongsorejo. Pada saat itu biaya sekolah sangatlah murah, sehingga memungkinkan untuk semua kalangan bisa mengenyam pendidikan sekolah dasar. Jadi, semuanya tergantung pada kemauan anak untuk belajar ataupun tidak. Pada saat itu teman-teman Dul hampir semuanya bersekolah, hal ini merangsang Dul untuk ikut bersekolah dan belajar. Dul pernah bekerja pada waktu kecil. Saat Dul kelas tiga SD, dia merawat dan memelihara ayam petelur milik seorang dokter yang membuka praktek di Wongsorejo. Sepulang sekolah dia pergi ke rumah dokter, melaksanakan pekerjaan tersebut bersama dua temannya, dan pulang ke rumah saat matahari merendah di ufuk barat. Pekerjaan ini hanyalah sebuah sambilan, anak kecil yang bekerja sangatlah wajar di Wongsorejo, karena anak-anak desa kala itu ingin sekali bisa menghasilkan uang sendiri, hanya untuk kepuasan. Menghasilkan uang sendiri, sangatlah tren di dunia anak SD pada saat itu. Meskipun upahnya tidak seberapa, uang hasil kerjanya bisa dia pakai untuk membeli barang-barang yang biasa diinginkan oleh anak-anak seumurannya. Dul berhasil lulus SD pada tanggal 7 Mei 1979.
Setelah mengenyam pendidikan dasar di SD Wongsorejo 1, Dul melanjutkan sekolahnya ke SMP penyetaraan yang masih berlokasi di Wongsorejo, yaitu Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama Negeri 2 Banyuwangi. Hari-hari yang ia lalui masih sama dengan rutinitasnya kala SD. Masih bekerja sambilan menjaga ayam petelur milik dokter. Namun pada saat awal Dul SMP kelas satu, dokter Prayitno, pindah ke Jogjakarta. Pada saat itu Dul sempat ditawari untuk ikut dengannya bersekolah di Jogjakarta atau tetap di Banyuwangi. Dul yang masih kanak-kanak, lebih memilih untuk tidak ikut, ia masih ingin tinggal dengan ibu yang ia sayangi, tak tega rasanya meninggalkan ibunya dengan kakak dan 2 adiknya yang masih kecil. Sejak kepindahan dokter tersebut ke Jogjakarta, hari-hari Dul lebih dipenuhi oleh rutinitas belajar, bermain, dan membantu ibunya. Hal tersebut berlangsung selama beberapa bulan, sampai pada suatu hari ada yang menempati rumah Dokter Prayitno yang kosong itu, masih dengan orang berpekerjaan sama, dialah Dokter Bambang Setiawan Sukirno. Ternyata, sebelum Dokter Prayitno pindah ke Jogjakarta, dia berkata pada Dul, bahwa Dul akan dititipkan ke Dokter Bambang yang akan menempati rumahnya itu. Jadilah Dul bekerja sambilan juga di rumah dokter Bambang. Pada saat itu, kedua teman Dul yang dulu bekerja bersama-sama dia  di Rumah Dokter Prayitno tidak ikut bekerja di Rumah Dokter Bambang. Kali ini, Dul tidak bertugas menjaga ayam petelur, dia bertugas untuk mengantarkan anak Dokter Bambang yang masih TK ke sekolah, manjemputnya, dan terkadang Dul membantu membersihkan rumah dan mencuci piring.
Dul saat SMP
Lama kelamaan Dokter Bambang menganggap Dul sebagai anaknya sendiri. Dia menyuruh Dul untuk tinggal di rumah Dokter Bambang. Dokter Bambang berniat menyekolahkan Dul, sampai lulus. Akhirnya Dul tinggal bersama Dokter Bambang, namun sesekali Dul pulang ke rumah ibu nya. Keluarga Dokter Bambang sangatlah baik kepadanya. Sebagai bentuk terimakasih kepada Dokter Bambang, tak jarang Dul pergi ke tempat praktek yang berada di sebelah rumah Dokter Bambang, dan mengepelnya. Saat Detik-detik terakhir masa Dul di bangku sekolah menengah pertama, Dul dikabari bahwa Dokter Bambang akan pindah ke Songgon, salah satu daerah di Banyuwangi bagian selatan. Seperti yang dilakukan Doker Prayitno, Dokter Bambang pun menawari Dul untuk ikut bersamanya melanjutkan SMA di daerah sana. Setelah melalui pemikiran panjang, akhirnya Dul memutuskan untuk ikut bersama Dokter Bambang dan keluarganya di Songgon. Dul ingin melanjutkan sekolahnya dan ketika lulus bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Dia tidak mau menyusahkan ibunya, karena Dul sadar bahwa ibunya yang ada di desa tidak punya cukup uang untuk membiayai dia dan saudara-saudaranya bersekolah. Dul sangat tidak tega untuk terus-terusan meminta ibunya yang tinggal sendiri itu untuk membiayai dirinya. Dul tamat SMP pada tanggal 2 Juni 1982.
Saat tinggal bersama Dokter Bambang dan keluarganya di Songgon, Dul diterima di SMA swasta PGRI Rogojampi. Sehari-hari Dul mengendarai vespa biru untuk sampai di sekolahnya yang saat itu sedang menganggur di rumahnya. Jarak rumah Dul dengan sekolahnya cukup jauh, karena berbeda kecamatan, yaitu sekitar 15 km. Dul sangat menyukai olahraga, dia sangat menanti-nanti hari Jumat, karena pada hari itu ada pelajaran Olahraga. Dul suka bersepakbola di lapangan Rogojampi bersama teman-temannya. Saat Dul duduk di bangku SMA kelas tiga, Dokter Bambang dipindahtugaskan ke Banyuwangi. Akhirnya, Dul dan keluarga Dokter Bambang tinggal di Banyuwangi, di perumahan PEMDA Jalan Letkol Istiqlal. Pada tanggal 30 April 1985 bermaterai Rp 100,-, Dul lulus SMA. Dokter Bambang yang menjadi walinya selama 6 tahun tersebut, menawari Dul 3 pilihan. Pilihan yang pertama adalah berkuliah di Jogjakarta, karena pada saat itu Dokter Bambang juga berniat untuk melanjutkan perkuliahannya di Jogjakarta. Pilihan yang kedua adalah bekerja, dan pilihan yang terakhir adalah menikah. Dengan pasti Dul memilih untuk bekerja, karena tujuan awal Dul menamatkan sekolahnya dari sekolah dasar sampai SMA, adalah untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Akhirnya Dokter Bambang, menitipkan Dul ke temannya yaitu Dokter Mulyadi. Dokter Bambang tinggal di Jogjakarta dan Dul tinggal dengan Dokter Mulyadi, yang akrab dipanggil Dokter Mul..
Foto ijazah sma Dul
Dokter Mul adalah kepala Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Blambangan Banyuwangi. Beliau menjadikan Dul sebagai salahsatu pegawai RSUD Blambangan. Dul sangat senang bisa bekerja di RSUD Blambangan Banyuwangi, mekipun dia hanyalah pegawai honorer di sana. Setiap beberapa bulan sekali dia kembali ke kampung halamannya, menjenguk Ibu, Kakak, dan dua adiknya yang masih tinggal di Wongsorejo. Dokter Mul membuka praktek di rumahsakit Islam Banyuwangi. Dul sering mengantar dan menjemput Dokter Mul disana. Saat itulah kisah cintanya di mulai. Hatinya tertambat saat pertama kali bertemu dengan seorang gadis yang bekerja sebagai pegawai di rumahsakit tersebut. Dia bernama Kelut Ariowati, cinta pertama Dul. Rasa cinta Dul kepada gadis ini sangat tidak bisa di toleransi lagi. Dul mencari-cari infomasi tentang gadis itu, melalui teman-temannya. Hingga akhirnya Dul dapat berkenalan dengan Kelut yang lebih sering disapa Ari tersebut. Pada awal pertemuannya Ari bersifat acuh tak acuh kepada Dul yang sudah jatuh cinta kepadanya, karena Ari tahu usia antara Dul dan dirinya terpaut cukup jauh, yaitu lima tahun. Hal ini yang membuat Ari berpikir bahwa dirinya tidak mungkin menjalin asmara dengan Dul. Tapi Dul yang bersemangat tinggi tetap menjalankan targetnya untuk bisa memiliki hati Ari. Pernah di suatu hari, saking ingin tahunya tempat tinggal Ari, Dul membuntuti Ari saat Ari pulang dari kerja. Saat di jalan Ari menyadarinya, namun Ari membiarkannya. Tapi, ternyata Dul mengikuti Ari sampai rumah kakaknya. Ari memang tinggal dengan kakaknya. Mengetahui hal itu, Ari cepat-cepat masuk ke rumah dan memberitahu orang serumah bahwa ada laki-laki yang mengikutinya sampai ke rumah. Kakak Ari pun keluar rumah dan menemui Dul. Dul menceritakan maksud dan tujuannya mengikuti Ari sampai ke rumah kepada kakak Ari, dia juga menyatakan keseriusannya bahwa dirinya benar-benar mencintai Ari. Ari pikir setelah berbicara dengan kakaknya Dul akan pulang ke rumahnya, tapi ternyata tidak. Dari situ, Ari tahu bahwa Dul benar-benar tulus mencintainya, anggapan bahwa Dul masih bersifat kekanak-kanakan sirna sudah. Dul menjalin hubungan dengan Ari selama hampir 3 tahun.
Dul di RS Islam, tempat kerja Ari
Pada tanggal 26 Maret tahun 1988 jam 08.00, Dul meminang Ari, perempuan yang sanggup menaklukan hatinya sampai sedemikian rupa. Disaksikan Keluarganya dan wali-walinya serta keluarga Ari, proses akad nikah berjalan dengan lancar. Pernikahan Dul dengan Ari bersamaan dengan pernikahan kakak wanita Ari. Setelah menikah dengan Ari, Dul dan Ari tinggal di rumah kakak Ari. Anak pertama Ari lahir pada tanggal 12 Januari 1989 yang diberi nama Enis Rahmawati. Pemahaman orang jawa, bahwa kehadiran anak pada suatu keluarga akan memberikan berkah, terjadi pada saat itu. Benar saja, tak berapa lama setelah kelahiran anak pertamanya, Dul diangkat sebagai pegawai negeri sipil. Anak kedua Dul dengan Ari lahir pada tanggal 9 Februari 1991, Dul memberi nama Prayogi Febri Atmanegara. Selang dua tahun dari kelahiran Yogi, Dul dan Ari pindah dari rumah kakaknya,  mereka mengontrak rumah yang berlokasi dekat dengan Rumahsakit Islam Banyuwangi, tempat kerja Ari. Wajar, sebagai pasangan baru mereka harus memanage keuangan mereka sebisa mungkin, salahsatunya mengirit biaya dengan tinggal lebih dekat dengan lokasi kerja. Saat itu, Dul hanya memiliki sepeda ontel sebagai transportasi utamanya. Kepindahan Dul dan Ari juga dikarenakan karena mereka ingin menjalankan kehidupan keluarga yang sakinnah, mawaddah, warahmah, dan mandiri. Saat tinggal di jalan karimun jawa, Desi Putri Kurniasari anak ketiga Dul pada tanggal 12 Desember 1994 lahir. Saat itu Dul akhirnya mampu membeli sepeda motor pertamanya yaitu Honda ‘cethol’ merah. Dengan sepeda itu, transportasi keluarga Dul menjadi semakin lebih mudah. Sayang, tak berapa lama ada cobaan yang menghadang keluarga Dul. Ari kecelakan saat mengendarai Honda c50 kesayangannya, Ari mengalami putus kaki, yang mebuat kakinya harus dijahit, dan dia terpaksa harus memakai alat bantu jalan selama hampir 1 tahun. Hal ini semakin membuat Dul sayang kepada istrinya.



Dul dan Ari

Dul, Ari, Enis (anak pertama)

Suasana pernikahan Dul dan Ari

Yogi (anak kedua Dul)

Desi (akuuuuuuuuuu)

Keluarga Bahagia
Dul membeli sebuah rumah di Perumahan Griya Giri Mulya, setelah merasa uang yang telah ia tabung selama ini cukup. Membeli rumah adalah salah satu hal yang sangat diidam-idamkan bagi setiap pasangan suami istri. Pada saat anak ketiganya berumur 2 tahun, Dul pindah ke perumahan yang lebih dikenal dengan perumahan klatak tersebut. Disinilah kehidupannya lebih banyak terjadi. Dalam karier pekerjaan Dul, sempat mengalami naik turun. Namun, dia selalu bersabar menerima segala cobaan yang ada. Dipikirannya, yang penting dia harus tanggungjawab terhadap kelangsungan hidup istri dan anak-anaknya, dia dapat menyekolahkan anak-anaknya sampai pendidikan yang tinggi, hingga anak-anaknya mendapatkan pekerjaan yang layak. Saat ini, kehidupan Dul sangatlah tenang bersama istri dan ketiga anaknya. Dengan keluarga yang sederhana itu, dia mendapatkan suatu kenikmatan dan kesenangan sendiri, satu yang selalu ia tekankan dalam hidupnya yaitu berusaha untuk selalu menyenangi hidup.