Recent Posts

Jumat, 18 November 2011

Si Biru Milik Lina (part 2)

“Kamu sih, suka ceroboh ninggal kunci motor sembarangan, sampai kebawa mimpi kan?” Ucap Mery.
“Hehe, iya aku janji berusaha untuk ga ceroboh lagi kok”
Lina memang anak yang ceroboh, kejadian hilangnya kunci motor Lina saat di sekolah tidak bisa terhitung lagi. Teman kelas Lina dengan sabar selalu membantu mencari kunci motornya yang hilang di tempat antah berantah. Menggerayangi kolong-kolong bangku, membongkar tas yang penuh buku dan sudah tertata rapi yang siap diangkut pulang ke rumah, melihat setiap sisi kelas mereka, menyusuri jalan yang sudah Lina lewati seharian di sekolah. Sekali lagi, hanya untuk membantu teman yang sangat mereka sayangi, menemukan benda yang hilang karena kesalahan dia sendiri.
“Eh Lin. Kadang-kadang mimpi itu nyata loo. . “ Mery membuka pembicaraan lagi.
“Ah, mudah-mudahan aja ga terjadi.”
“Diaminin aja sih, pokoknya jadikan mimpi itu pelajaran buat kamu.” Ucap Sasi
“ Amin, doain aja temanmu yang satu ini hilang sifat cerobohnya” Lina membalas.
“Yee kalo itu tergantung usaha kamu kali.” Sanggah Mery.
Teteteeeeeeeet. Mendengar bel pulang berbunyi, teman-teman kelas Lina serempak memasukkan buku pelajaran mereka dan bergegas pulang. Mereka ingin segera melepas penat setelah seharian menuntut ilmu. Satu per satu mereka meninggalkan kelas, hingga di depan kelas hanya ada Mery dan Sasi, duduk-duduk santai mengobrol, Lina seorang diri di kelas. Tak berapa lama, Merry dan Sasi memutuskan untuk pulang, tak lupa mereka berpamitan dengan Lina. Baru langkah ketiga Merry dan Sasi meninggalkan Lina, dari dalam kelas terdengar.
“Tolong dong, kunci motorku hilang.”
Yak tepat, kejadian itu terulang lagi. Lina ceroboh lagi, padahal beberapa jam yang lalu dia baru membicarakan mimpi dan kecerobohannya. Mery dan Sasi kembali ke kelas, melakukan hal yang biasa mereka lakukan agar bisa menemukan kunci motor Lina. Anehnya sudah setengah jam, mereka bertiga belum menemukan kunci motor itu. Biasanya mereka bisa menemukan kunci dalam waktu 15 menit, di dalam tas Lina sendiri. Tapi kali ini, di dalam tas, kolong bangku, tiap sisi-sisi kelas tidak menunjukkan ke beradaan kunci motor. Tak henti-hentinya Mery dan Sasi menyuruh Lina untuk mengingat-ingat lagi dimana ia meletakkan kunci motornya. Muncul suatu pertanyaan di benak Lina ‘Apa mimpi itu beneran nyata?’ Lina tidak mau didahului lelaki menyeramkan itu di dunia nyata. Cukuplah di mimpi saja.
Degup jantungnya terpacu dalam sedetik, Lina berlari keluar kelas, menuju lapangan parkir di sekolahnya. Di belakangnya, berjalan lelah Mery dan Sasi mengikuti kemana Lina pergi. Sampai di lapangan parkir, Lina membeku. Si Biru, motornya benar-benar tidak ada di lapangan parkir. Pikiran Lina kacau dipermainkan mimpi. Tapi ini bukan mimpi, ini benar-benar terjadi. Tak sadar air matanya menetes.
“Lo? Kok nangis?” Tanya Mery
“Sepedamu hilang beneran Lin?” Tanya Sasi mulai gugup.
Tak ada jawaban dari Lina, dia mencari-cari dimana sepedanya berada. Bertanya pada murid yang dari tadi ada di parkiran sekolahnya. Mery dan Sasi pun ikut membantu menanyakan pada tukang parkir sekolahnya. Jawaban mereka sama semua, tidak tahu. Lina bingung harus mengatakan apa kepada orangtuanya. Pikirannya semakin gundah, saat hape yang ada di saku roknya bergetar, dan layarnya menunjukkan suatu kontak yang bernama ‘Ibu’. Aaaaaa. . . Air mata semakin deras mengalir di pipi Lina. Sasi menenangkan Lina, dan menyuruhnya mengangkat telepon dengan tenang dan mengatakan apa adanya.
“Ha Halo assalamualaikum.” Lina memberi salam
“Waalaikum salam, Lin kamu mau minta jemput jam berapa? Kok mulai tadi belum sms-sms ?”

Si Biru Milik Lina (part I)

Semburat jingga menandai matahari yang kembali ke peraduan. Di lapangan parkir sekolah, Lina membiarkan air matanya jatuh tak terbendung. Dia terpaku, menyadari motor kesayangannya tak ada lagi ditempat dimana ia menaruhnya . Raib entah dibawa siapa. Dia benar-benar tercengang di lapangan parkir, yang telah kosong melompong ditinggalkan penghuninya, termasuk Si biru kesayangannya. Wajar jika penghuninya meninggalkannya, karena jam sekolah sudah berakhir 3 jam yang lalu. Tapi Si Biru, harusnya tetap ada di lapangan parkir ini, karena si empunya belum membawanya pulang.
“Hai kamu yang disana!”
Suara lantang memangil Lina. Dia menoleh ke sekelilingnya, tak ada siapapun. Sepi.
“Aku disini.”
Dengan cepat Lina menoleh ke belakang. Lina menyeka air matanya sembari  menyipitkan mata, memastikan siapa yang memanggilnya barusan. Dari kejauhan, sesosok lelaki berkemeja hitam, melambaikan tangan kepadanya. Meski dari jauh, lelaki itu terlihat menakutkan, karena kemeja yang dipakai  ketat ditubuhnya, menampakkan otot-ototnya yang kekar, rambutnya gondrong dikuncir ke belakang.  Mirip  bodyguard, tapi lebih cocok jika menjadi tukang pukul atau pembunuh bayaran. Yang mengagetkan Si Biru ada di sebelahnya. Lina benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Dia takut untuk menghampiri lelaki itu, takut jika Lina menghampirinya, lelaki itu mengeluarkan golok dan membelah lehernya, membagi tubuhnya menjadi beberapa bagian, memasukkan ke koper, dan membuang koper tersebut ke Kalilo, dan tak tega rasanya jika besok ada surat kabar menghampiri rumahnya dengan headline ‘Murid SMAN 1 Glagah Tewas Termutilasi’. Dia tidak mau, dia harus mengambil sepedanya dan lekas-lekas pulang.
“Ba bapak siapa?” Lina terbata.
Tahukah kamu jika dunia ini menerapkan hukum aksi-reaksi? Segala sesuatu yang telah kamu lakukan, pasti akan mendapatkan reaksi atau timbal balik dari lingkungan sekitar.
“Tapi pak, saya tidak pernah memindahkan sepeda motor orang tanpa seizin orang tersebut”.
“Kamu tidak memindahkan, tapi kamu beraksi dengan meninggalkan kunci tergantung di motormu, jika hukum aksi-reaksi benar pastinya aku akan melakukan reaksi dengan membawa motormu ini kabur. “
“Maaf pak, saya sudah ceroboh. Saya tidak akan mengulanginya lagi”
“Sayang, itu terlambat. Karena, saya sudah terlebih dulu membenarkan hukum aksi reaksi itu. “
Lelaki itu menghidupkan Si Biru, menunggangi, dan membawa Si Biru pergi, kabur entah kemana.  Lina tertegun.
---
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa!” Lina berteriak, sembari bangun dari mimpi buruknya.
Sekejap tawa meledak di kelas yang awalnya sunyi tersebut.  Tidak ada guru di sana. Semua teman-teman Lina mengarahkan pandangan ke dirinya, sambil menutup mulut menahan tawa. Dengan kusut Lina bangun dari tidur saat pelajaran kosong di kelasnya tercinta. Peluhnya bercucuran efek dari mimpi buruk yang dialaminya barusan.
“Hayooo. Barusan mimpi apa?” Goda Sasi
“Hehehe ga ada. Ga mimpi apa-apa kok. ” Lina menjawab malu
“Palingan mimpi nonton OVJ” Jawab Mery memancing semua teman-teman Lina untuk tertawa lagi.
Maklum selama bertahun-tahun acara komedi yang terkenal itu ditayangkan, Lina sama sekali belum pernah menontonnya. Jadi wajar jika teman-teman kelas sering menggoda Lina.
“Ayo dong Lin, ceritain mimpimu barusan. Kok sampai teriak-teriak gitu sih?” Pinta Mery.
Dengan ribuan paksaan yang dilontarkan teman-teman kesayangannya, akhirnya Lina luluh, dan mau menceritakan mimpi buruk yang terkesan aneh tadi. Teman-teman Lina serius memperhatikan kata demi  kata yang diucapkan Lina, penasaran. Lina menceritakannya sampai akhir, tidak ada satu bagian pun yang terlewat. 

Rabu, 16 November 2011

Mengungkap Tabir Trafficking
Oleh: Desi Putri Kurniasari
Perdagangan wanita atau yang biasa disebut dengan trafficking di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat presentasenya. Selama kurun waktu 2 tahun ini, angka kejadian anak Indonesia yang menjadi korban praktik perdagangan manusia di perkirakan 70.000 hingga 95.000 jiwa. Perdagangan ini meliputi eksploitasi tenaga kerja, seksual, dan perdagangan organ tubuh manusia. Hal ini sangat bertolak belakang dengan hak azasi manusia. Saat ini, hal yang sedang marak adalah perdagangan wanita di bawah umur untuk dijadikan pekerja seks komersial.
Perdagangan wanita di bawah umur disebabkan oleh beberapa faktor, seperti rendahnya perekonomian dan kurangnya pendidikan. Umumnya, Korban dari perdagangan wanita di bawah umur adalah anak-anak dari pedesaan berkisar umur 14-18 tahun, yang menempuh pendidikan hanya sampai SD, dan SMP. Mereka juga berasal dari keluarga ekonomi menengah ke bawah. Orang yang bertugas untuk mencari wanita-wanita tersebut (trafficker), awalnya menawarkan berbagai macam iming-iming berupa pekerjaan dengan gaji yang cukup dipakai untuk membeli rumah mewah dan barang-barang mahal lainnya. Anak-anak desa yang berkeinginan utuk meningkatkan taraf perekonomian dengan alih-alih dapat membantu orangtuanya dalam mencari rezeki dapat dengan mudah termakan omongan trafficker. Namun, tidak semua korban trafficking adalah anak desa dan anak yang tidak mampu, sebagian dari mereka adalah anak-anak dari kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya, dan anak dengan orangtua berpenghasilan cukup, sayangnya mereka kekurangan dalam mendapatkan perhatian dari orangtua mereka, mereka merasa tidak diperhatikan oleh orangtuanya, akhirnya mereka berteman dengan orang yang salah, dan  terjerumus juga dalam trafficking. Trafficker lebih berminat pada anak yang dibawah umur, karena rata-rata mereka semua masih perawan, pastinya bila nanti wanita-wanita itu dijual, para trafficker akan meraup keuntungan yang berlipat ganda.
Korban trafficking dibawa ke suatu kota oleh trafficker, mereka dikumpulkan dengan orang-orang yang bernasib sama. Saat di kumpulkan, telepon genggam dan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan hubungan mereka ke keluarga, dirampas oleh trafficker, untuk menyamarkan jejak calon PSK itu dan mengamankan sindikat mereka dalam perdagangan wanita. Mereka akan membuat identitas baru bagi calon PSK, mulai dari KTP, SIM, dan paspor palsu. Barulah mereka dikirim ke kota tujuan di pulau lain atau di luar negeri. Dan di situlah petualangan baru yang menyakitkan bagi korban trafficking dimulai.
Orang-orang dibalik sindikat perdagangan wanita ini, ada yang bertugas  mencari pelanggan mereka di mal, kafe, ataupun diskotik. Mereka menawarkan foto calon korban kepada lelaki hidung belang, bila kesepakatan dengan lelaki hidung belang tersebut sudah tercapai, calon korban akan segera dikirim, ke lokasi yang telah mereka sepakati. Trafficker  tidak tanggung-tanggung dalam mematok harga wanita-wanita malang tersebut, umumnya mereka menawarkan harga mulai satu juta rupiah. Kejamnya, setelah korban trafficking itu melayani lelaki hidung belang, mereka hanya mendapatkan 35% dari pembayaran lelaki hidung belang. Jika harga harga mereka satu juta rupiah, berarti korban trafficking hanya mendapatkan bayaran tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Hal ini, sangat  tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkan oleh trafficking mulai dari hilangnya rasa percaya diri korban, trauma, hilangnya keinginan bersosialisasi, penyakit reproduksi, bahkan sampai tuna susila.
Sindikat perdagangan wanita sulit dideteksi pihak kepolisian, karena kemampuan bersembunyi mereka  sangatlah hebat. Ada suatu sindikat perdagangan yang berlokasi di perumahan yang aman dengan kehidupan social antar tetangga tinggi, siapapun tidak akan menyangka bahwa salah satu rumah di perumahan tersebut adalah kedok sindikat perdagangan wanita, bahkan penduduk yang berpuluh-puluh tahun menjadi tetangga sebelah rumah trafficker, baru tahu bahwa rumah disamping tempat tinggalnya adalah kedok perdagangan wanita, setelah keberadaannya terbongkar oleh pihak kepolisian. Dari kasus-kasus terebut, pihak kepolisian harus bekerja lebih keras lagi, dalam mencium keberadaan sindikat perdagangan wanita yang sulit terdeteksi, karena hal ini bersentuhan langsung dengan anak-anak dibawah umur, yang nantinya akan menjadi penerus Indonesia ini. Jika, anak-anak dibawah umur sudah banyak yang menjadi korban trafficking, akan jadi apa Indonesia dengan mental rendah?