Recent Posts

Jumat, 16 Desember 2011

Upacara

Alunan  melodi Indonesia Raya yang dinyanyikan mereka di obade sudah sangat baik mendarat di gendang telingaku. Tidak ada fals, suara mereka benar-benar merdu. Tapi, itu semua terasa sia-sia kala melihat kawanan putih abu-abu sejenisku, yang berjajar sempurna mengikuti upacara Senin ini. Barisan mereka memanglah rapi, tapi mulut mereka tetap berkicau meskipun upacara yang dibuat sekhidmat mungkin ini berlangsung. Belum lagi keluh kesah mereka yang sering dilontarkan saat upacara. Keluh kesah yang paling tren di sekolahku adalah ‘Aduh…  panas sekali sih hari ini, upacara pula’ dan ‘Aduh lama sekali upacara hari ini’, setali tiga uang dengan sang merah putih yang telah berhasil dikibarkan, dan sekarang sedang berkobar-kobar di hembus angin pagi ini, saat ini teman-temanku sedang berkobar-kobar menyuarakan keluh kesah yang lagi tren itu. Riuhnya bak suara sekelompok maling, berbisik antar satu orang dengan orang lain. Padahal upacara Senin yang dilakukan sebagai bentuk rasa nasionalisme bangsa, dan sebagai penghormatan kepada pahlawan hanya berlangsung selama 45 menit. Tak sebanding dengan perjuangan seorang pahlawan yang umumnya berjuang mulai umur mereka 20 tahun sampai mereka tertidur dengan tenang di pekuburan.

Tiba saatnya penyampaian amanat upacara. Umumnya sih kepala sekolah lah yang berpidato di podium, tapi tak jarang pula guru pun menggantikan kepala sekolah berpidato. Inilah yang mengagumkan. Biasanya di saat seperti ini, teman-temanku akan beralih fungsi tidak sebagai siswa peserta upacara lagi, mereka berubah seketika menjadi komentator seperti yang ada di acara pencarian-pencarian bakat di televisi, mengomentari apa yang diucapkan oleh orang yang berpidato. Bedanya, bila komentator ajang pencarian bakat melontarkan komentarnya setelah peserta melakukan aksinya, teman-temanku memberikan komentar tepat disaat kepala sekolah ataupun guru sedang berpidato. Ada satu keanehan pada upacara yang selalu terpikirkan di benakku dan ini tidak boleh terlewatkan untuk dibahas. Keanehan itu adalah saat petugas upacara melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, banyak teman-temanku yang menertawakan kejadian itu. Ada yang salah dengan teman-temanku, timbul pertanyaan di otakku, apa mereka terlahir untuk menertawakan orang yang melakukan kesalahan? Hanya mereka yang tahu jawabannya.

Wajah-wajah temanku umumnya terlihat lelah dan muram saat upacara berlangsung. Tapi ada satu tahap upacara yang bisa menyulap wajah letih itu menjadi sumringah, yaitu tahap pembacaan doa. Alasan yang paling logis dari kesumringahan mereka adalah pembacaan doa secara tidak langsung menyiratkan bahwa upacara akan segera berakhir, dan mereka bisa segera bersantai-santai lagi di kelas. Ironis memang mengetahui semua hal tersebut terjadi saat upacara. Padahal, mereka semua adalah pemegang roda kehidupan Indonesia ke depan. Tak terasa lagi rasa nasionalisme di hati teman-temanku. Tak mau menjilat ludah sendiri atas apa yang aku ceritakan dalam kertas ini, aku akan berusaha untuk tidak melakukan hal tersebut. Tulisan ini hanya sebagai satu dari usaha kecilku untuk menyadarkan kalian dari segala keironisan yang ada pada generasi penerus bangsa. Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Mungkin, dengan menyicil usaha-usaha kecil seperti ini, aku harap nantinya akan ada sesuatu yang besar dan bermanfaat untuk negeriku. (Sev, 010198)

“Sya, ayo kembali ke kelas. Udah Bel nih.” Pinta Hana.

Segera aku melipat lagi kertas yang aku temukan di lempitan buku perpustakaan sekolah. Meletakkan buku ‘Nasionalisme Bangsa’ yang sudah usang itu di tempat aku menemukannya. Berawal dari keisenganku membuka kotak buku usang perpustakaan yang lama tak dijamah, aku menemukan sesuatu yang sangat berarti bagi diriku. Kalau kertas itu benar-benar dibuat oleh orang berinisial Sev, aku ingin tahu bagaimana dia sekarang. Sebentar, ada satu kesimpulan yang mengganjal di hatiku, jika tulisan pada kertas itu dibuat tahun 1998 berarti waktu 13 tahun tidak cukup untuk mengubah kebiasaan buruk pelajar-pelajar Indonesia saat upacara.

0 komentar:

Posting Komentar