Akhir-akhir ini sering
muncul suatu ironi yang membentuk sebuah paradoks kait mengait antara opini dan
fakta, kadang hasilnya membuat ku ingin tertawa pahit, tersenyum nyinyir, atau
senyum yang benar-benar bahagia. Kejadian-kejadian itu ironis, dan aku ingin
membagikannya untuk kalian. Hanya sebuah cerita dan pelajaran hidup saja. Ini
nyata!
***
Aku punya keluarga besar. Nenek ku mempunyai 12
orang anak, satu diantaranya sudah dipastikan orang tua ku, yap dia adalah
ibuku. Ibuku mempunyai seorang adik perempuan yang dulunya sama seperti ibuku
dan saudara-saudara ibuku lainnya, entah mengapa saat menginjak usia dewasa
tanteku menjadi tidak senormal mereka. Dia mengalami sedikit gangguan jiwa.
Gangguannya memanglah tidak parah. Dia masih bisa diajak mengobrol atau
berdiskusi, dia tetaplah menyenangkan seperti dulu, meskipun aku sudah lupa
dulu dia seperti apa-_-- tapi itulah dia, menurutku dari ribuan bahkan jutaan
orang yang pernah bertatapan muka denganku hanya dialah satu-satunya orang yang
benar-benar ikhlas dalam menjalani hidup, ikhlas untuk dirinya sendiri ataupun
orang lain, mungkin hanya dialah kenalanku yang tidak pernah menyelinapkan kata
‘imbalan’ di pikirannya dengan segala keterbatasan yang dimilikinya. Mungkin
sebagian orang akan mengucilkan dia saat
pertama kali bertatap muka, bahkan aku yakin anak kecil akan takut melihat dia
karena baju usang, rambut acak-acakan, beberapa karet di pergelangan tangan, sekitaran
4 bando di kepalanya, dan seringnya dia berbicara sendiri. Anehnya setelah
beberapa pertemuan banyak orang yang akrab dengan dia, semua sepupu dan
keponakanku akrab dengan dia, orang dan anak-anak di sekitar rumah pakdeku,
tempat dia tinggal, semua pedagang
keliling, akrab dengan dia. Tak ada satupun orang yang memandang remeh, kecuali
mereka-mereka yang kelainan hati akut .
Aku sering tanya mengapa dia berpakaian begitu kepada tanteku itu. Bila
dibahasakan dengan baik dan teratur mungkin jawabannya jadi seperti ini: ini
hanyalah sebuah prinsip, Dek. Dia berpegang teguh dengan prinsip yang
pikirannya anut, meskipun itu terlihat ganjil bagi orang-orang, keluargaku
sudah memakluminya.
Yang mengagetkan di umurnya yang hampir
mencapai setengah abad dia tiba-tiba menginginkan untuk mempunyai sebuah sepeda
kayuh, dan kalian tahu apa yang dia lakukan untuk mewujudkan mimpinya? Dia
berjulan. Oke, dalam kondisi yang seperti itu setidaknya dia masih mau
berusaha. BERUSAHA! Jualannya memang tidaklah seberapa, hanya satu kantung
plastik barang jualan. Dalam kantung plastik putih itu ada beberapa snack,
permen, yakult, dan rambak. Satu lagi yang aku kagumi dari dia, otaknya
dipenuhi semangat yang meluap-luap dan hampir tumpah, dengan semangatnya itu
dia tidak enggan memulai berjualan pukul setengah 5 pagi di masjid dekat rumah
pakdeku. Yap saat orang-orang sedang sholat subuh, dia menunggu dan menawari
mereka saat mereka sudah selesai dengan tugasnya kepada Allah. Entah karena iba
atau memang ingin membeli, jualan tante ku selalu laku karena orang-orang itu.
Tak hanya subuh, sore hari saat anak-anak kecil sedang mengaji dia juga
berjualan di masjid, sedikit demi sedikit laba berjualan ia kumpulkan dalam
kaleng yang ia titipkan di budeku. Hingga jumlahnya hampir mencapai 200.000. Daaaaaaaaaan,
tante ku sebut saja tante sinta yang keadaan ekonominya tidak mampu mau
meminjam sebagian uang hasil jualan nya. Padahal suami tante sinta punya banyak
kelebihan. Dia masih sehat wal afiat, berbadan bugar, lebih muda dari umur
tanteku yang berjualan itu, dan gagah. Hanya satu kekurangan dia yaitu tidak
punya pekerjaan. Kalau diusut-usut lebih lanjut mungkin lebih tepatnya kekuranganan
oom ku adalah malas untuk mencari pekejaan
dan menafkahi keluarganya, akhirnya tante usaha luntang lantung mencari
pinjaman.
Baiklah, kalau sekarang aku bertanya pada kalian “Apa yang ada dalam
pikiran kalian saat ini?” Sebelum kalian menjawab pasti aku akan bilang “Ya,
itulah ironi yang menginap di pikiranku selama ini”. The end of story.
0 komentar:
Posting Komentar